English French German Spain Italian Dutch Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified

Saturday, September 12, 2009

Adat Batak 2

Pendudukan Jepang memaksa para Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil menuntaskan masalah upacara adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia (theologia in loco) dan kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan dengan pola hidup lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan kembali pelaksanaan berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh argumentasi teologis yang dikemukakan para pemimpin rohani yang belum mengalami pembaharuan total dalam pola pemikirannya. Argumentasi teologis tersebut merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan kebenaran ajaran Injil dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis (pengajaran atau cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat diterima oleh pemikiran jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa Yesuslah satusatunya Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi dalam hidup sehari-hari perlu dipertahankan upacara adat (agama) Batak, yang diketahui dengan jelas berasal dari Hasipelebeguon. Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan kepada Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi Sinkretis ini telah menjadi arus utama didalam pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada masa sekarang.
Akibatnya, pada generasi berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat yang sebelumnya telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh, upacara kematian (hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi), pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya. Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada masa kegelapan, kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dahulu Nommensen mau dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya diatas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugutugu marga.
Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur tersebut dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang belulang leluhur marga. Tanpa disadari umat Tuhan di tanah Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati (shizoprenis: terpecah), yang pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus, pada sisi yang lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan. Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan.
Perkawinan orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat Batak, sering menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya.
Kesempurnaan dan kemutlakan karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan leluhur itu. Sinkretisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja-gereja tradisional Batak, tetapi juga telah merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung tinggi keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili yang ada di Sumatera Utara sering disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun banyak yang terlibat di dalam pelaksanaan aktivitas tersebut. Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap, dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran.
Dalam bahasa Tuhan Yesus:

“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).

Tuesday, January 6, 2009

Adat Batak 3


Semuanya ini hanya mungkin, bila kita mau merendahkan hati untuk dikoreksi dan diajar oleh Tuhan Yesus, sama seperti seorang anak kecil, yang memiliki kepolosan, keterbukaan dan kejujuran untuk diajar. Bukan untuk sekedar menambah pengetahuan teologia belaka, tetapi benar-benar untuk mentaati-Nya. Karena Roh Kudus hanya akan mengerjakan hal tersebut bila kita dinilai-Nya telah memiliki ketaatan hati, sekalipun kebenaran itu sangat pahit untuk memulainya (Kisah Para Rasul 5:32). Karena itu, doa sang Pemazmur sangat relevan untuk dipanjatkan secara sungguh-sungguh oleh orang-orang Kristen Batak:

“Selidikilah aku, ya Tuhan, dan kenalilah hatiku, ujilah aku dan kenalilah pikiranku; lihatlah apakah jalanku serong dan tuntunlah aku di jalan yang kekal.” (Mazmur 139:23,24)

Renungan ini mencoba melihat kembali tentang sikap dan pandangan Tuhan terhadap masalah upacara adat, khususnya yang hidup dalam masyarakat Batak, dengan mengambil contoh kasus utamanya dari sub suku bangsa Batak Toba. Penulis hanya akan membatasi pembahasan pada beberapa prinsip-prinsip utama yang mendasari pelaksanaan upacara adat, dan tidak akan menguraikan detail dari pelaksanaan upacara tersebut. Karena melalui renungan ini, tidak mungkin menguraikan dan mengkaji segala aspek dari berbagai macam upacara adat yang ada di tengah-tengah masyarakat Batak.

Penulis sadar, bahwa apa yang dipaparkan dalam tulisan ini sangat bertentangan dengan pemahaman teologi yang umumnya diyakini oleh masyarakat Batak sekarang. Apa yang dituliskan disini merupakan suatu pemahaman alkitabiah dan Injili, yang Tuhan Yesus bukakan secara bertahap kepada penulis. Penguraian ini akan menyentuh hal-hal yang sangat sensitif di hati orang Batak, yang mungkin akan dapat membangkitkan rasa marah dan benci bagi sebagian orang. Tetapi penulis berketetapan hati di hadapan Tuhan Yesus untuk memberitakannya. Kalau Anda mau mencari kebenaran Tuhan, dipersilahkan untuk membacanya terus. Pertentangan pasti muncul, karena sudut pandang dalam melihat adat itu memang berbeda. Pandangan Kristus tidak pernah sama dengan pandangan manusia yang duniawi. Pandangan Kristus jauh lebih tinggi dari pandangan duniawi. Penafsiran seseorang mengenai adat istiadat muncul dari suatu titik pijakan, sikap hati dan tujuan yang hendak dicapainya. Persoalannya, apakah kita memiliki dasar pijakan yang sama dengan Tuhan Yesus? Kuasa Roh Kudus hanya akan menyertai dan mengurapi orang-orang yang memberitakan Firman sesuai dengan maksud-Nya.

LinkWithin

Related Posts with Thumbnails