Pendudukan Jepang memaksa para Missionaris meninggalkan Indonesia tanpa berhasil menuntaskan masalah upacara adat. Kepergian mereka meninggalkan kekosongan teologia (theologia in loco) dan kebingungan rohani di tengah-tengah Jemaat Batak. Keterikatan dengan pola hidup lamanya telah mendorong Jemaat untuk mendesak pimpinan gereja mengizinkan kembali pelaksanaan berbagai upacara adat. Desakan ini didukung oleh argumentasi teologis yang dikemukakan para pemimpin rohani yang belum mengalami pembaharuan total dalam pola pemikirannya. Argumentasi teologis tersebut merupakan suatu pemahaman Injil yang mengkompromikan kebenaran ajaran Injil dengan ajaran agama Batak, teologia yang bersifat sinkretis (pengajaran atau cara hidup yang berasal dari campuran dua atau lebih ajaran), yang dapat diterima oleh pemikiran jemaat kebanyakan. Dalam teologi ini diakui bahwa Yesuslah satusatunya Jalan, Kebenaran, dan Hidup, tetapi dalam hidup sehari-hari perlu dipertahankan upacara adat (agama) Batak, yang diketahui dengan jelas berasal dari Hasipelebeguon. Teologi Sinkretis inilah yang diajarkan kepada Jemaat Kristen Batak sampai hari ini. Teologi Sinkretis ini telah menjadi arus utama didalam pemahaman iman Jemaat Kristen Batak pada masa sekarang.
Akibatnya, pada generasi berikutnya merebak kembali pelaksanaan berbagai upacara adat yang sebelumnya telah dilarang oleh para Missionaris untuk dilakukan. Sebagai contoh, upacara kematian (hamatean), upacara memindahkan tulang belulang (mangongkal holi), pelaksanaan tortor dan gondang Batak di gereja dan berbagai upacara lainnya. Bukan itu saja, upacara penyembahan nenek moyang yang merupakan inti agama Batak pada masa kegelapan, kembali merebak dilakukan oleh masyarakat Batak Kristen sekarang. Kebangkitan penyembahan ini mengambil bentuk baru yang ditandai dengan menjamurnya pembangunan tugu-tugu marga Batak. Anda dapat melihat banyaknya tugu yang dibangun di sepanjang jalan lintas antara kota Parapat dengan kota Tarutung. Tugu tersebut dibangun oleh keturunan marga yang berasal dari satu garis leluhur (ompu parsadaan). Pembangunan ini telah menghabiskan dana sangat besar, bahkan mendatangkan kemerosotan rohani yang dalam. Kalau dahulu Nommensen mau dikorbankan oleh orang Batak kepada roh sembahan leluhur marganya diatas bukit Siatas Barita, maka sekarang yang terjadi sebaliknya. Banyak pendeta dan penatua pemimpin kebaktian pada acara pemujaan roh nenek moyang di tugutugu marga.
Ironisnya lagi, pelaksanaan upacara dari masa kegelapan itu dibungkus dengan kebaktian gerejawi, yang dilaksanakan di lokasi pendirian tugu marga dimana tulang belulang leluhur tersebut dikuburkan kembali. Proses pembangunan tugu juga banyak melibatkan kuasa-kuasa setan melalui datu (spirit medium), misalnya untuk menentukan lokasi penggalian tulang belulang leluhur marga. Tanpa disadari umat Tuhan di tanah Batak telah berubah menjadi umat yang mendua hati (shizoprenis: terpecah), yang pada satu sisi mencoba untuk mengikuti ajaran Yesus Kristus, pada sisi yang lain giat melakukan ajaran agama nenek moyangnya. Dalam hidup keseharian terjadi pencampuran kedua ajaran agama (sinkretis), yaitu agama leluhur dan Injil Yesus Kristus. Akibatnya kekristenan orang Batak menjadi kompromis, permisif dan kebenaran Injil yang mutlak menjadi relatif. Satu kaki berpijak pada Injil (?), dan kaki lainnya berpijak pada Adat (agama Hasipelebeguon). Satu sisi dalam terang, sisi lain dalam kegelapan. Sinkretisme orang Kristen Batak dapat kita lihat di dalam pelaksanaan perkawinan.
Perkawinan orang Kristen Batak dilakukan dengan dua jenis upacara: upacara kegerejaan yang biasanya dilanjutkan dengan upacara agama Batak. Pelaksanaan kedua upacara tersebut merupakan suatu keharusan, sekalipun tidak ada hukum formal maupun Firman Tuhan yang memerintahkannya. Pernikahan secara gerejani, tanpa diikuti dengan pelaksanaan upacara adat Batak, sering menimbulkan konflik besar di dalam keluarga orang yang hendak menikah. Di gedung gereja, orang Batak melakukan upacara kekristenan, sedangkan di luar gedung gereja mereka melakukan upacara agama leluhur. Perbedaannya hanya terletak pada orang yang memimpin upacara. Dulu dipimpin oleh Datu, sekarang digantikan oleh Pendeta. Peranan datu digantikan oleh pendeta, tetapi rangkaian upacara adat (agama leluhur) selanjutnya tetap sama. Berkat (pasu-pasu) dari Tuhan Yesus dianggap belum cukup, dan perlu disempurnakan dengan berkat dari hula-hula dan lainnya.
Kesempurnaan dan kemutlakan karya Yesus Kristus telah disingkirkan demi mempertahankan upacara kegelapan warisan leluhur itu. Sinkretisme ini bukan hanya terjadi di kalangan gereja-gereja tradisional Batak, tetapi juga telah merembes kepada orang-orang Kristen Injili yang mengaku Alkitabiah, menjunjung tinggi keunikan Injil dan lebih giat memberitakannya. Dari mimbar kaum Injili yang ada di Sumatera Utara sering disuarakan dukungan atas pelaksanaan upacara adat Batak. Merekapun banyak yang terlibat di dalam pelaksanaan aktivitas tersebut. Orang Batak telah melupakan prinsip rohani bahwa terang tidak dapat bersatu dengan gelap, dan kebenaran tidak dapat dipersatukan dengan ketidakbenaran.
Dalam bahasa Tuhan Yesus:
“Tidak seorangpun dapat mengabdi kepada dua tuan. Karena jika demikian, ia akan membenci yang seorang dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada yang seorang dan tidak mengindahkan yang lain. Kamu tidak dapat mengabdi kepada Tuhan dan kepada Mammon” (Matius 6:24).
Seiring dengan merebaknya kembali aktivitas upacara adat di tengah-tengah bangsa Batak, kemerosotan rohani yang besar terjadi, baik pada kaum awam, maupun pada pemimpin gereja. Kemerosotan itu nampak pada banyaknya perpecahan dalam gereja Batak, contohnya kasus perpecahan gereja HKI, GKPI, dan HKBP. Perpecahan itu juga telah terjadi pada hampir setiap gereja suku di Sumatera Utara. Perpecahan gereja Batak banyak bersumber pada akar budaya Batak itu sendiri, dan konflik kepentingan di antara pemimpin umat; bukan karena masalah teologia. Perpecahan yang besar berpuncak pada kasus gereja HKBP yang sangat menghebohkan, yang telah banyak mengorbankan materi, darah bahkan nyawa manusia. Semuanya sangat mempermalukan nama Tuhan Yesus. Kemuliaan dan kehormatan yang seharusnya diberikan kepada Tuhan Yesus, telah diberikan kepada iblis dan Pemimpin Jemaat. Wajar jikalau damai Tuhan Yesus tidak ada disana. Seruan para malaikat di Betlehem mengajarkan bahwa damai Tuhan hanya akan diberikan kepada orang yang berkenan kepada-Nya, yaitu orang yang memberikan kemuliaan kepada Tuhan Yesus.
“Kemuliaan bagi Tuhan di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi diantara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:14).
Gereja HKBP diserukan sebagai “HKBP Na bolon I” (HKBP yang besar). Gereja yang seharusnya Duta Pembawa Damai di dunia, telah berubah menjadi sekumpulan orang-orang yang saling berperang. Gereja telah menjadi arena peperangan baru bagi orang Batak di zaman modern ini. Peperangan bukan hanya terjadi di kalangan kaum awam, namun juga telah merebak sampai kepada pucuk pimpinan gereja itu sendiri. Sangat tepat dikatakan bahwa orang Batak telah kembali kepada masa hidup nenek moyangnya, yang ditandai dengan tingkat konflik yang tinggi, dimana sering terjadi peperangan (marporang) antar kampung (huta). Konflik di gereja HKBP beberapa tahun belakangan ini merupakan contoh terbesar dari peperangan antara sesama orang Batak masa kini. Pemberitaan keselamatan manusia di dalam Tuhan Yesus, yang seharusnya merupakan kesibukan utama bagi gereja Tuhan, telah berganti dengan banyaknya waktu yang terbuang untuk mengikuti berbagai upacara adat. Kelalaian dalam melaksanakan Amanat Agung Tuhan Yesus tidak pernah dinyatakan sebagai dosa yang serius oleh pimpinan gereja. Tetapi, penolakan aktivitas upacara adat, atau ketidaktepatan pelaksanaan upacara adat segera akan mengundang komentar yang tajam dan ramai. Perdebatan dan pertengkaran karena masalah adat merupakan sesuatu yang biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Kemerosotan rohani dapat kita lihat juga dalam kehidupan sehari-hari.
Anda jangan heran, jikalau pada masa sekarang, banyak orang Batak Kristen yang sangat takut untuk tidak melakukan upacara adat. Sementara untuk tidak mentaati Firman Tuhan itu merupakan hal yang dianggap sepele saja oleh mereka. Bahkan, sering dijumpai orang yang lebih senang dikatakan sebagai orang yang tidak “ber-Tuhan” (ndang martuhan) daripada dikatakan sebagai orang yang “tidak beradat” (ndang maradat). Tanpa disadari, adat Batak telah kembali menjadi berhala atau ilah yang dijunjung tinggi di hati orang Kristen Batak. Kemerosotan rohani juga dapat kita lihat pada banyaknya orang-orang Kristen Batak yang terlibat berbagai dosa seperti perdukunan, spiritisme (berhubungan dengan arwah orang mati), memberikan persembahan di kuburan, perzinahan, kebebasan seksual, rentenir, perjudian, kemabukan, korupsi, suap-menyuap, pembunuhan, kekerasan (premanisme), perkelahian dan berbagai dosa lainnya.
Dalam dunia pekerjaan, berbagai jabatan yang penting dan strategis di birokrasi dan pemerintahan, yang pada awal kemerdekaan banyak dipegang oleh orang Kristen Batak, pada saat ini telah beralih kepada orang-orang lain. Bukan itu saja, peluang untuk mendapatkan pekerjaan khususnya dalam birokrasi dan pemerintahan menjadi sangat sulit diperoleh oleh orang Batak Kristen, kecuali dengan menyogok (ber-KKN).
Kita semua tahu bahwa banyak orang Kristen Batak yang telah menjual imannya (iman kepada Yesus Kristus), demi memperoleh suatu pekerjaan, pernikahan, pangkat dan jabatan. Barter harta rohani yang tak ternilai harganya, dengan barang-barang murahan dari dunia ini telah banyak dilakukan oleh kaum Esau dari Bona Pasogit, Tano Batak. Firman Tuhan dibawah ini patut menjadi bahan pemikiran kita:
“Tuhan akan mengangkat engkau menjadi kepala dan bukan menjadi ekor, engkau akan tetap naik dan bukan turun, apabila engkau mendengarkan TUHAN, Bapamu, yang kusampaikan pada hari ini engkau lakukan dengan setia” (Ulangan 28:13).
Karena itu, persoalan adat kini harus diselesaikan, karena kita mengetahui bahwa upacara tersebut telah menimbulkan masalah rohani yang besar. Kita tidak mau membiarkan iblis memperoleh kembali peluang untuk mencengkramkan kukunya pada generasi Batak saat ini. Semuanya itu sangat mendukakan hati Tuhan dan mendatangkan murka atas bangsa Batak. Karena itu sudah merupakan kewajiban dari generasi Kristen Batak pada masa kini untuk mengevaluasi kembali kehidupan kerohaniannya di hadapan Tuhan Yesus. Evaluasi tersebut mencakup cara pandang, sikap dan tindakan kita terhadap eksistensi upacara adat. Evaluasi itu hanya mungkin dilakukan apabila kita mau datang kepada Tuhan Yesus dengan sungguh-sungguh, dan meminta dengan tekun agar Dia menerangi hati kita, dan menyingkapkan rahasia Firman-Nya. Karena hanya Tuhan Yesus, melalui Roh-Nya, yang memiliki otoritas mutlak dalam menafsirkan seluruh kebenaran Firman Tuhan. Sehingga Dia berkenan mengoreksi segala pemikiran, konsep, nilai, prinsip, cara dan tindakan kita selama ini. Seruan untuk kembali kepada Tuhan Yesus sangat mendesak untuk diberitakan pada saat ini.
“Wahai bangsa Batak,BERTOBATLAH! kembalilah kepada Tuhan Yesus!” (Bersambung)
No comments:
Post a Comment